29 April 2010

Melihat Sejarah Binus Dari Sisi Lain.. :)

Seperti dituturkan oleh Tri Joko pada blog pribadinya.. :shakehand



Sungguh cerita yang agak aneh. Saya mulai mengajar di Akademi Tehnik Komputer (ATK) di awal September 1982. Seperti cerita sebelumnya, saya mengajar mata kuliah Statistika. Jumlah mahasiswa di kelas ini 120 orang dengan perbandingan laki-perempuan kira-kira 60-40 persen. Dari cara berpakaian mereka, kelihatannya mereka berasal dari well-to-do family, alias dari kelas menengah-atas. Ruang kelas yang saya tempati berukuran 10×12 meter persegi, sebuah ruang kelas ideal yang nantinya “ditiru” saat Binus membangun kampus Syahdan yang rancangannya dibuat oleh firma arsitek “Atelier 6″..
Namun dua minggu mengajar Statistika, saya sudah harus ambil cuti selama 2 minggu karena menikah dengan orang yang sudah saya pacari selama 1,5 tahun terakhir, yaitu Sertu Susi. Saya ingat buku teks yang digunakan mengajar Statistika adalah Steel & Torrie yang juga merupakan buku teks IPB. Namun kelihatannya buku itu terlalu sulit bagi saya dan bagi mahasiswa saya. Akhirnya saya beli buku “Statistika” karangan Basu Swastha, dosen Fakultas Ekonomi UGM. Saya mengajar dengan terbata-bata karena sebelumnya memang belum pernah mengajar, apalagi mengajar Statistik !
Saya menikah di Madiun tanggal 2 Oktober 1982, sebuah pernikahan yang sederhana mengingat orangtua saya tinggal Ibu saja sedangkan orangtua isteri tinggal Bapak saja. Yang saya masih ingat, waktu itu acara Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1982 dilaksanakan di Lapangan Udara Utama Iswahyudi, Madiun karena tuan rumahnya adalah TNI-AU. Inspektur Upacaranya adalah alm. Jenderal M. Yusuf, Menhan/Pangab pada masa itu.


Akibatnya, satu kompi kolone senapan KOWAD yang ikut memeriahkan HUT ABRI itu ikut datang di pernikahan kami di Madiun, tepatnya sore hari setelah pernikahan kami selesai. Akhirnya, satu kompi KOWAD itu saya carterkan 10 becak dan ramai-ramai menuju ke Alun-alun Madiun untuk saya traktir Bakso Simo ! Kelihatannya semuanya senang, saya dan isteri sayapun pulang naik becak, dan teman-temannya KOWAD itupun dijemput truk Kreo untuk diantarkan ke penginapan mereka di Lanud Iswahyudi..
Dua minggu cuti ngajar ternyata membawa otak ini mengkerut. Waktu mengajar Statistika setelah honeymoon di hutan jati Watujago, sayapun lupa menuliskan beberapa rumus statistik dan mahasiswa mulai ribut, “Nah lho..bapak bingung, nah lho..bapak bingung !”..
Shoot !! Sayapun benar-benar bingung. Dengkul ini rasanya lemas sekali seolah mau copot, dan kalau bisa saya pengin tertelan perut bumi..menghilang dari depan kelas ! Tapi saya tidak bisa..
Alhamdulillah, setelah saya nglirik lagi buku Statistika karangan dosen FE UGM itu, rumusnya ketemu lagi…
Di tahun 1982-1984 itu yang mengajar di ATK menurut saya bertambah. Ada ibu Myrna juara judo Trisakti temen sekelas Pak Carmelus di Elektro Trisakti yang bekerja di sebuah perusahaan minyak. Ibu Myrna ini sangat menarik perhatian dari sosoknya yang atletis, wajahnya yang lumayan, dan tentunya kepintarannya. Selain itu ada Pak Tri, lulusan Elektro ITB yang bekerja di Pertamina, yang sering saya nunuti ikut mobil Daihatsu Taft-nya jika transfer dari kuliah di Kyai Tapa menuju kampus baru di Jalan K.H. Syahdan Kemanggisan. Ada lagi Pak Marsudi Wahyu Kisworo alumniElektro ITB yang bekerja di Elnusa, yang sering saya nunuti juga mobil Mitsubishi Gallant-nya. Selain itu masih ada Pak Muchsin alumni AIS (Akademi Ilmu Statistik) yang bekerja di BPS yang sering saya nunuti mobil Mitsubishi Lancer-nya..
Memang di tahun 1984 itu, ATK mulai membangun kampus sendiri di Jalan K.H. Syahdan, Kelurahan Kemanggisan, Kecamatan Palmerah. Dari seorang dosen senior yang saya tanya, hal itu dilakukan mengingat gedung lama di Jalan Kyai Tapa menaikkan biaya sewa dan tidak bersedia bekerja sama menjalankan sebuah akademi. Bersamaan dengan pindahnya Akademi Tehnik Komputer ke Jalan K.H. Syahdan, namanyapun berubah menuruti anjuran pemerintah yaitu Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) “Bina Nusantara”. Nama “Bina Nusantara” dituliskan karena yang empunya AMIK adalah Yayasan Bina Nusantara.
Sedangkan Yayasan Bina Nusantara dimiliki 100% oleh keluarja Bapak Joseph Wibowo (almarhum, nama beliau diabadikan sebagai nama kampus JWC – The Joseph Wibowo Center for Advance Learning – di Jalan Hang Lekir). Namun Ketua Yayasan Bina Nusantara di tahun 1984itu adalah Laksamana Muda (Purn) Rudy Purwana, seorang purnawirawan jenderal bintang 2 dari Angkatan Laut. Konon Pak Rudy Purwana ini adalah sahabat karib Bapak Joseph Wibowo ketika bergerilya melawan tentara Belanda di Malang dan sekitarnya pada tahun 1945-1949 yang lalu. Pak Rudy Purwana sebagai anggota tentara gerilya Republik Indonesia, sedangkan Pak Joseph Wibowo adalah pemasok perbekalan bagi tentara gerilya. Untuk itu Pak Joseph Wibowo juga menyandang “Bintang Gerilya“, sebuah tiket untuk dapat dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata sebenarnya, tapi beliau tidak mau..
Kampus Syahdan di tahun 1984 itu masih sangat-sangat kecil, yaitu hanya terdiri dari Gedung L saja dan terdiri dari 4 lantai. Lantai paling atas adalah untuk ruang Direktur ATK yang dijabat oleh Ibu Ir. Th.Widia Suryaningsih, Puket I Bapak Ir. Carmelus Susilo, Puket II Bapak drg. Bernard Gunawan, dan Puket III Bapak Winokan (kemudian digantikan oleh yang lainnya). Tangga di Gedung L baru ada yang di sebelah timur, yang di sebelah barat belum dibangun. Di belakang gedung L, ada sekitar 4-5 meter tempat parkir berbatasan dengan kampung. Di sebelah kiri dan kanan gedung L juga hanya ada space 4-5 meter untuk parkir mobil…
Seperti diketahui, di tahun 1984 belum ada AC di kampus Syahdan (AC baru dipasang sekitar tahun 2000). Kuliahpun menggunakan mikrofon yang sangat keras, barangkali terlalu keras sehingga mengganggu para tetangga di belakang kampus yang belum terbiasa. Akibatnya, kadang-kadang kampus dilempari dengan batu, walaupun sebagai dosen saya hanya mendengar masalah itu tapi belum pernah melihatnya sendiri. Yang saya lihat, hampir di setiap kelas ada seorang anggota Marinir yang belajar layaknya seorang mahasiswa. Tapi beberapa Marinir lainnya berfungsi sebagai asisten dosen, yang ikut menjaga ujian. Pokoknya banyak anggota Marinir yang berpakaian preman pada waktu itu terlibat dalam kegiatan kampus sehari-hari..
Pada tahun 1984 itu, jalan tol Tomang-Tangerang belum dibangun tapi sudah disiapkan tanahnya. Mal Taman Anggrek belum ada, yang ada adalah Taman Anggrek yang konon milik Bung Karno karena di sebelahnya ada rumah salah satu isteri Bung Karno yaitu Ibu Hartati. Jalan tol dalam kota Cawang-Grogol baru sampai Pancoran yang masih berbentuk bunderan Pancoran. Begitu juga Slipi masih berupa Bunderan Slipi. Dari Jalan Kyai Tapa Grogol kalau mau ke Kampus Syahdan adalah belok di Apotik Prima, tepat di sebelah Slipi Jaya Plaza sekarang yang waktu itu belum ada. Pokoknya, masih jadul banget dan masih sepi banget dan ndeso banget deh Jakarta waktu itu..
Ada kejadian menarik di Kampus Syahdan waktu itu. Waktu saya selepas ngajar mau pulang membawa ransel, seorang mahasiswi dengan sok tahu menyapa, “Oh kamu yang ngambil Akuntansi I itu ya ?”. Dengan terbata-bata saya jawab, “Iya..iya..iya..”. Terus si mahasiswinya bingungsendiri dan akhirnya dia bilang, “Oh bukan ding, Akuntansi II ya kan?”. Sayapun mengangguk mengiyakan lalu tersenyum. Memang umur saya di tahun 1984 masih 27 tahun, dengan baby look yang saya punyai pasti banyak orang menyangka saya masih mahasiswa..
Kampus Syahdan di tahun 1984 waktu itu oleh para tukang ojek di bunderan Slipi disebut “Lapangan Cina“, entah kenapa disebut demikian padahal pemilik tanah adalah seorang haji yang tinggal di Jalan Daan Mogot. Yang bertugas mencari tanah di Syahdan ini adalah Pak Rufinus Lahur, dan tentunya Pak Joseph Wibowo sendiri. Pak Haji yang punya tanah waktu itu berpesan, “Baiklah tanah ini saya jual untuk dibikin sekolahan (kampus), tapi dengan syarat sekolahan itu harus merupakan sekolah nasional yang murid-muridnya berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik dan tidak boleh menggunakan dialek ataupun bahasa daerah sehari-hari ” (sumber : Buku Ulang Tahun ke-65 Pak Joseph Wibowo pada tahun 1995).
Saya memang sering naik ojek dari Slipi jika sudah ketinggalan waktu ngajar dan pengin cepat sampai kampus Syahdan. Kalau tidak salah ongkos ojek waktu itu masih Rp 500 !
AMIK Bina Nusantara di tahun 1984 itu mulai dibanjiri oleh lulusan Statistika IPB sebagai dosen yang mengajar Statistika, Matematika, dan Computer Programming (FORTRAN dan COBOL). Saya catat tidak kurang dari 15 orang lulusan Statistika IPB yang mengajar di AMIK Binus pada tahun 1984 waktu itu, antara lain Pak Bunawan Sunarlim (Dosen Statistika IPB), Kang Ayi Hamim Wigena (Dosen Statistika IPB), saya sendiri, Pak Sablin Yusuf (S1 Kehutanan, tapi S2 Statistika IPB), alm. Pak Abdul Hamang (S2 Statistika IPB), Pak Richard Lungan (S2 Statistika IPB), Haryono, Tassim Billah, Waluyo Achmadi, Jajang Hasyim, dan Simon Tandibua.
(Gedung M baru dibangun ketika saya masih di Amerika untuk sekolah lagi mengambil Master’s. Ketika saya pulang dari Amerika Januari 1990 Gedung J belum ada, apalagi Gedung K dan Gedung H..)


[ Bersambung ]
Source :
http://triwahjono.wordpress.com/2008/03/01/sejarah-binus-dari-kyai-tapa-ke-syahdan/

No comments:

Post a Comment