13 June 2010

Antara Eksklusif, Egois, dan Diktator (Part I)

Kata orang malam minggu itu malam yang panjang. Padahal 1 hari tetap aja 24 jam :p Memang malam minggu ini (12/06) tidak panjang, tapi membawa banyak inspirasi untuk dibahas. Apa hubungan antara eksklusif, egois dan diktator?

Cerita utama kali ini adalah acara malem mingguan saya di tanggal 12/06. Saya dateng ke sebuah konser musik klasik yang menampilkan karya-karya Beethoven & Handel. Kayak biasa Jakarta (Kelapa Gading maksud gue :p) menyajikan kemacetan tanpa ampun. Dengan bonus 15 menit keterlambatan, jadilah saya berdiri di depan sebuah pintu besar (yg tertutup) menuju concert hall ....... pada saat itu saya langsung teringat sebuah dialog antara Aragon & Gandalf dalam salah satu trilogi The Lord Of The Ring (one of my fav movie) : "Bahkan kuburan lebih ceria dibandingkan kota ini".

Dan sambil saya masih terheran-heran diiringi sayup-sayup (banget) musik klasik, seorang panitia berkata bahwa saya boleh masuk ke arena konser saat jeda ... sekitar 15 menit lagi (it seems agak lebay) ... Cara mengisi waktu selama 15 menit yg terbaik adalah dengan ke toilet, yg hanya berjarak 3m dari tempat saya berdiri. Sambil menikmati "kedamaian" toilet di sini, alunan "Laskar Pelangi" cukup kencang keluar dari seseorang di sebelah saya, yg ternyata adalah sekuriti setempat. Tidak lebih dari 5 detik seorang sekuriti yg lain buru-buru masuk ke toilet dan dengan cemas mengingatkan rekannya utk men-silent-kan handphonenya.

Kembali ke depan pintu konser, alunan "I Will Survive" keluar dari handphone saya. Seorang panitia menatap saya dengan tajam dan mengirimkan telepati ke alam bawah sadar saya : "Sekali lagi bunyi, itu hape bakalan gue lempar ke planet Jupiter" ... belum sempet mengirimkan telepati balik ke orang tersebut, tiba-tiba sayup-sayup musik klasik berhenti dan itu artinya it's time for show.

Maka terbukalah pintu besar tersebut dan terlihatlah ....... jalan beranak tangga, yg katanya menuju hall-nya. Setelah menyusuri anak tangga landai sepanjang 3m bersama-sama dengan teman seperjuangan yg terlambat, saya tiba di sebuah pintu (lagi) dalam kondisi terbuka dan terlihatlah ..... concert hall yg sudah lumayan penuh, dan tentu saja para musisi sebagai performer utama malam ini. 1 langkah melewati pintu tersebut, kita diminta berhenti (lagi) karena mendadak alunan musik kembali dilantunkan para musisi ini. seorang panitia menutup pintu dengan gaya yang sangat sopan, anggun dan hiper-lambat. 2 menit tanpa duduk, memaksa badan saya utk sedikit bergoyang ... dan suara "kresek-kresek" muncul karena gesekan jaket saya. Sekonyong-konyong datanglah sebuah tatapan tajam yg mengirimkan telepati (lagi) : "Ini orang kalo aja bukan tamu konser ini pasti sudah gue kirim ke planet Uranus".

2 menit berlalu dan saya masih tetap berdiri menanti kapan saya bisa menempati hangatnya kursi saya, tangan saya masuk ke saku celana .... dan muncullah lagi suara "kresek-kresek" yg menyebabkan datangnya sebuah telepati yg laen : "Gue harap ini orang ilang ketelen Black Hole". Dan kurang dari 1 detik, saya memutuskan masuk ke "Black Hole" yg pastinya lebih ceria dari concert hall ini. Dalam perjalanan meninggalkan "kuburan" tersebut menuju ke "Black Hole Kelapa Gading", pikiran saya memainkan sebuah karya Handel yg sangat terkenal : "Ha ... leluya".

(Bersambung)

1 comment:

Michael Maramis said...

Were the one who opened the door and the one who gave a cynical eyesight, the same person? If so, well, what a dumb person. If he were much more aware about a concert unwritten-rules, he should have not opened the door before the musicians stood up. So, he really didn't deserve to give the writer a very cynical eyesight.

Post a Comment